Partisipasi Masyarakat dalam RUU Advokat Berlebihan
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Endang Agustini Syarwan Hamud, meminta penjelasan mengenai tugas notaris dan tugas advokat sehingga perlu diberi status sebagai pejabat negara dibandingkan sebagai penegak hukum.
Hal tersebut disampaikanya menanggapi paparan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, dalam rapat dengar pendapat Baleg DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusuma dalam rangka mencari masukan bagi RUU Advokat , di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (26/2)
Endang juga mempertanyakan partisipasi masyarakat dan bantuan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu dalam RUU Advokat.
“Bagaimana partisipasi masyarakat berkaitan dengan banyaknya LSM, dimana kita tidak bisa mengklasifikasikan LSM yang mana yang baik dan tidak. Bagaimana sebaiknya dengan peran partisipasi masyarakat itu,” kata Endang.
“Dan bagaimana bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Terus terang saja peran advokat belum begitu banyak terdengar padahal jika kita lihat persoalan tanah warisan dan lain-lain yang berkembang di masyarakat kebanyakan masyarakat menengah ke bawah bahkan mereka sampai berantem saya tidak lihat sedikit pun peran advokat disitu,” tambahnya.
Sebagai orang awam yang tidak ahli hukum, Endang menanyakan besar tarif untuk mendapatkan pelayanan hukum. Menurut Endang, banyak orang miskin itu kalau sudah dibicarakan masalah pembela, langsung mundur teratur. Hal ini karena tidak ada kejelasan tarif dan tidak adanya keterbukaan dari pembela manakala dia harus membayar.
Endang juga menyatakan persetujuannya apabila dalam RUU ini nanti peran bantuan hukum itu memperhatikan masyarakat miskin. Tapi dia juga menanyakan, apakah jika tidak memberikan bantuan pada masayarakat miskin dapat dikenakan sanksi.
Menanggapi pertanyaan Endang, Romli Atmasasmita Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran menyatakan bahwa di konferensi PBB yang sering diikutinya, partisipasi itu hanya pada tindak pidana saja. Tidak ada ketentuan dalam konvensi adanya partisipasi masyarakat didalam kelembagaan negara termasuk profesi advokat.
Partisipasi masyarakat, menurutnya, sekedar untuk meng-encorrage masyarakat. Masyarakat didayagunakan untuk berani melaporkan dalam pemberantasan sesuatu kejahatan. Tapi bukan memberdayakan organisasi advokat. Itu tugasnya majelis kode etik dan pengurusnya itu sendiri.
Menurut Romli, Bab mengenai partisipasi masyarakat agak kebablasan dan tidak patut sehubungan dengan posisi advokat sebagai officium nobile. Bentuk partisipasi masyarakat yang kemudian akan menjadi beban pekerjaan tersendiri bagi organisasi advokat.
Mengenai pemberian status sebagai pejabat negara. Romli menyatakan kenapa status pejabat negara itu penting, agar memiliki kewibawaan yang lebih.
“Tapi jika itu memiliki suatu kemungkinan silakan, tapi kalau tidak, jika mau membuat ketentuan-ketentuan dan sanksi terhadap mereka yang menghalang-halangi tugas advokat,” kata Romli.
Jika polisi dan jaksa saja bisa mengatakan anda menghalangi penyidikan dan penuntutan, mengapa jika menghalangi tugas advokat tidak ada sanksi. Ini Equalitynya kata Romli. Maksunya, terpaksa harus dibuat seperti ini, karena situasi di Indonesia agak berbeda dengan negara-negara maju lainnya. “Sampai harus ada sanksi-sanksi seperti itu padahal sudah di sumpah itu semua. Mungkin harus ada semacam ketentuan-ketentuan yang khusus Indonesia,” papar Romli.
Terkait Bantuan Hukum, menurut Romli, tentunya harus dibedakan antara Legal Aid dan Legal Services. Maksudnya, dikhawatirkan bagi yang miskin begitu mendengar pengacara langsung mundur karena merasa harus ada pembayaran yang tidak jelas. Oleh karena itu kalau memang ingin jelas kalau disetujui oleh para advokat, harus ada ketentuan minimal honorarium didalam UU ini, sehingga jelas bagi masyarakat apakah dirinya mampu atau tidak.
“Sekedar mengingatkan kemaren bahwa BPHN telah mengucurkan dana sebesar 53 M untuk bantuan hukum ke seluruh LBH di seluruh Indonesia,” infonya.
Hal ini perlu dibahas dalam UU Advokat nanti kalau memang tugas fungsi advokat selain membantu Legal Aid dan Legal Services, bagaimana soal pendanaannya. Apakah pendanannya masuk kedalam profesi advokat/organiasi atau Kementerian Hukum dan HAM.
“Mohon diperhatikan karena ini sudah ada persetujuan DPR mengenai dana bantuan hukum. Makin besar dana bantuan hukum, makin baik, jadi ada keseimbangan antara perlindungan hukum terhadap mereka yang miskin dan kaya, itu lebih baik. Ini menunjukkan UU Advokat ini memelihara prinsif keseimbangan dan proporsionalitas, keadilan. Jadi bukan fokus pada kisruhnya, jadi jangan terbawa karena ada kisruh,” papar Romli. (sc)/foto:iwan armanias/parle.